GeBook Singkep
Oleh Firdaus LN
|
Sebuah
Buku adalah Setetes Ilmu.
Demikian untaian kalimat Promosi Buku yang ditenun oleh Penerbit MIZAN
sekitar sepuluh tahun lalu menghiasi helai pertama Kalender Tahun 1991.
Ada elemen ekonomis yang terkait dengan bisnis sebuah perusahaan
penerbitan itu untuk meningkatkan oplah jual dapur produksinya.
Namun
yang menarik untuk dibedah adalah dimensi penanaman nilai-nilai falsafah
pendidikan secara samar diterapkan oleh Pelaku Bisnis yang banyak menerbit
kan buku-buku Islam tersebut.
|
Bila
dalam benak manusia telah diselaputi oleh pikiran bahwa sebuah buku adalah
setetes ilmu, maka dapat dipastikan jasad makhluk jenis ini seluruhnya
berlumur keringat yang berbau Buku. Perangai manusia yang demikian itu
niscaya gemar membaca Buku. Tanpa itu dia resah dan gelisah. Kalau lah
perangai semacam ini telah menyatu padu dengan kebanyakan anak didik di
sekolah, boleh jadi Sastrawan dan Budayawan Nasional Taufiq Ismail tidak
akan risau dengan Generasi Anak Bangsa Indonesia yang masih duduk
di Kelas Rabun Membaca (Republika 14/2 dan 17/2). Celakanya, harga buku di
Tanah Air konon diberitakan tergolong mahal sehingga sukar dijangkau oleh
kebanyakan Kocek Orang Kampung. Wajar saja harganya mahal, sebab bukan kah
“Ilmu adalah Harta yang Tak Ternilai?” semisal menilai
Rp 4-5 juta per buah Kelong yang dirubuhkan atau digusur ke tengah laut
oleh Para Penambang Harta untuk tujuh turunan. Inilah mungkin satu di
antara sekian banyak rasionalisasi kenapa menuntut IImu itu menjadi WAJIB
dalam Fiqih Islam. Bahkan bila perlu pergi lah merantau sampai ke
Negeri Bambu Kuning untuk mengais
Ilmu.
Gerakan
“Orang Kite” vs “Orang Awak”
Soal
perduli buku serta kait-kelindan antara minat baca anak didik oleh
mencekiknya harga sebuah buku serta kondisi perekonomian Orang Kampung
Pulau Singkep Pasca Timah, akan lebih mesra
bila “GeBook Singkep”
--Gerakan “Orang Kite” (Kampung
Pulau Singkep) mengumpulkan Buku-buku Pelajaran dan Majalah Ilmiah Bekas
untuk mencerdaskan Anak-anak Kampung Pulau Singkep, disandingkan dengan
“Gebu Minang” --Gerakan “Orang Awak “ mengumpulkan Pitih Seribu
Rupiah untuk membangun “Kampuang nan Jauh di Mato”.
“GeBook
Singkep”
diyakini dapat mengarahkan anak –anak kampung Pulau Singkep agar rajin
menambang ILMU berselingkuh dengan buku ketimbang menambang
Pasir yang berselingkuh dengan DUIT yang akan memperbudak Otaknya
menjadi seorang koruptor handal. Upaya ini sekaligus boleh meningkatkan
budaya baca anak–anak kampung
yang masih rabun sambil meredam sedikit kilah mahalnya harga buku-buku
pelajaran sekolah. Terlebih lagi menghadapi reka ulang kurikulum
yang selalu dibongkar-pasang tak berjeda. Padahal dimensi
anak-didik dan guru dalam pembelajaran lebih bermakna dalam membunyikan
kurikulum di ruang kelas. Se-Sakti Mandra Guna
apa pun kurikulum, jikalau tak mampu diterjemahkan oleh Guru bagi
pemahaman anak didik, niscaya tak bermakna.
” PerKamp Singkep”
Oleh
karena benda yang hendak dikumpulkan itu adalah barang bekas, maka nama
” PerKamp Singkep” dipandang lebih pas untuk Perpustakaan Skala
Kampung ketimbang Perpustakaan Kota yang lazim diisi dengan
buku-buku baru melalui proyek berduit.
Gedung-gedung harta karun bekas PT Timah yang banyak tak terurus
itu pun dapat difungsikan sebagai Kampus “PerKamp Singkep”. PerKamp
Sentral Singkep dapat mengambil lokasi di Pusat Kota Dabo, semisal
sebagian Gedung Wisma Ria yang
bertetangga dengan Mesjid Besar Azulfa sebelum dia rubuh ditelan
masa. Dengan demikian Kampus Dunia dan Kampus Akhirat ini tetap dekat dan
mesra. Tersebab tidak ada anggaran proyek untuk merakit PerKamp impian
ini, maka hal itu dapat ditempuh melalui kegiatan kerjasama (bukan sama-sama
kerja) antara Camat, para guru dan anak didik, sekaligus sebagai ajang
sosialisasi dan menanamkan rasa memiliki “Kebun Ilmu” yang hendak
dikreasi itu. Anggap sajalah sebagai salah satu kegiatan UKS (Usaha
Kebersihan sekolah) sambil membersihkan Kebun Sekolah Masa Depan.
Dari
Induk ” PerKamp Singkep” ini,
diharapkan setiap tahunnya dapat melahirkan seorang anak PerKamp di setiap
Kelurahan Kecamatan Singkep sampai paling tidak dua puluh tahun kemudian.
Program Futuristik Kampungan ini, tentu
saja menuntut kepedulian Kandepdiknascam dan Camat Singkep untuk
proaktif, sehingga kinerjanya tidak itu ke itu (Laporan
Caw-DP3-naik Pangkat-tukang jemput dan bagi gaji guru) dari jaman ke
jaman. Tukang Urus Cik Gu menjaring Tenaga Honorer yang bersedia menjadi
Pegawai Perpustakaan. Sementara Tukang Urus Bandar mencarikan sumber dana
untuk Gaji Pustakawan di Kampung-Kampung Pulau Singkep. Pengangguran
Kampung pun boleh berkurang sedikit dari pada bergitar dan mengaruk tak
menentu.
Strategi
“GeBook Singkep”
Upaya
untuk mengisi “PerKamp Singkep” dengan buku-buku dan/atau majalah
Ilmiah Bekas dapat ditempuh, antara lain melalui sumbangan sebuah
buku/Majalah bekas dari anak-anak Singkep yang balik merantau keluar
kampung mengais Ilmu di seluruh Nusantara. Mahasiswa dan/atau
keluarga besar asal Pulau Singkep yang ada di Perantauan juga dapat
“menyamar” sebagai Pengemis Ilmu dengan mengadakan kegiatan sosial di
kota-kota dimana dia bermastautin untuk meminta sumbangan buku-buku
pelajaran sekolah dan/atau majalah Ilmiah bekas dari masyarakat di kota
tersebut. Program ini dapat dijadikan Agenda Tetap Tahunan Masyarakat
Singkep di perantauan seluruh Nusantara. Hasil pengumpulan dapat dibawa
Pulang ke Kampung setiap Berhari Raya atau di waktu-waktu lain setiap kali
ada yang Balik kampung. Atau “diposkan” via setiap anak Singkep yang
akan Pulang Kampung sehingga tidak ada biaya pengiriman via pos yang
terbebankan. Dengan demikian ada kesan yang membekas dari anak-anak
Singkep setiap pulang ke kampung Kelahiran ketimbang hanya menceritakan
kehebatan Kampung Orang lain.
Katup
“GeBook
Singkep”
bukan merupakan gerakan temporer panas-panas taik ayam, tetapi ianya
merupakan gerakan yang selari dan seirama dengan Falsafah Pendidikan yang
berlangsung selama hayat dikandung badan. Jika gerakan ini dilakukan
setahun sekali, maka setiap tahun pula ada penambahan buku-buku bekas tapi
“baru” untuk menambah koleksi PerKamp Singkep. Semua anak-anak
diceruk-ceruk perkampungan Pulau Singkep--baik yang mampu apatah lagi yang
kurang atau tidak mampu membeli buku pelajaran baru boleh meminjam
secara cuma-cuma di Perpustakaan Kampung se Pulau Singkep. Upaya ini
dipandang lebih berdaya guna dan berhasil guna ketimbang menjual
buku/majalah bekas per kilo ke Warung-warung Runcit
yang pada akhir hayatnya dijadikan kertas pembungkus Belacan.
Cabar-Cibir
Seratus
Delapan Puluh Tahun
Singkep digebuk oleh PT Timah, melahirkan 81 Kolong yang telah melemas dan
mematikan puluhan anak-anak kampung Pulau Singkep dan berpotensi sebagai
tempat beranak-pinaknya Nyamuk Malaria, plus konversi nama Pulau ini
dengan sebutan “Pulau Hantu” oleh sejumlah penulis di Harian
Bangka Pos dan KOMPAS. Belum juga puas, digebuk lagi oleh PT Pasir
yang kini usianya mendekati
Sepuluh Tahun. Dalam usia
itu, telah puluhan pula Kelong Bilis Orang Kampung rubuh atau digusur
menuju ke Tengah Laut dan membenamkan puluhan Hektar pesisir pantai dengan
lumpur tailing cucian pasir.
Bila
sekarang Singkep digebuk melalui cambuk Ilmu “GeBook
Singkep” untuk melahirkan
“hantu-hantu gila membaca buku”, siapa tahu dua puluh tahun kelak
(2020) mencuat 20 Doktor dari anak-anak kampung Pulau Singkep yang boleh
MEMBUNGKAM dan MEMBELALAKKAN Si
Penjuluk “Pulau Hantu” serta dapat mengangkat citranya menjadi “Pulau
Ilmuan” -- yang kelak dapat menyulap Kolong Timah dan Lumpur Pasir
menjadi “Kolong dan Lumpur Ilmu”
-- situs orang Menambang Ilmu dan Teknologi.
Menghadapi
cabaran itu, baiklah kepedulian ini diakhiri dengan mengutip Iklan
Nasional yang menghiasi
setengah halaman Harian Republika sepuluh
tahun lalu, ” Lebih baik jadi Kutu Buku dari pada Kelak Mati Kutu....!!!***
Kontak:
firdausln@hotmail.com
Montpellier-Prancis,
le 8 mei 2001, 04h55.
Sticker “GeBook Singkep”
2001@Firdaus LN
|