Singkep dot Com :: Artikel ::

Ekosistem Perkotaan

 

Oleh Firdaus LN

Periset Doktoral pada Centre de Coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement (CIRAD) de Montpellier-Prancis

dan Staf Divisi Agroekologis Pusat Penelitian Industri dan Perkotaan (PPIP)

Universitas Riau

 

EKOSISTEM PERKOTAAN (Urban Ecosystem) dalam perkembangan terkini seakan telah berkembang menjadi “New frontier” untuk kepentingan sains dan pendidikan. Para pakar managemen perkotaan berpendapat bahwa hal demikian itu disebabkan karena semakin meningkatnya kesadaran terhadap tuntutan kehidupan di perkotaan yang lebih nyaman atau ‘sustainable” secara ekologis. Sejak 1995 misalnya, Dewan Riset Lingkungan Alamiah Inggris (U.K.’s  Natural Environment Research Council), Kementerian Ferderal Jerman untuk Pendidikan, Sains, Riset dan Teknologi (Germany’s Federal Ministry for Education, Science, Research and Technology), serta Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat (U.S. National Science Foundation) telah mendanai kajian-kajian yang diarahkan  pada Ekosistem Perkotaan dengan penekanan pada riset koolaboratif yang melibatkan para ilmuan ekologi, fisika dan sosial. Lebih jauh dari itu, penekanannya tidak hanya dalam hal pengembangan pengetahuan oleh dan untuk ilmuan itu sendiri, namun juga secara simultan terhadap masalah bagaimana mengembangkan pemahaman masyarakat perkotaan terhadap segmen-segmen publik.

 

Untuk menciptakan suatu ekosistem perkotaan yang sustainable dalam artian dinamis, nyaman dan berbudaya (tertib dan teratur), maka pemahaman masyarakat perkotaan (urban society) terhadap bagaimana sebuah kota bekerja sebagai sistem ekologis merupakan conditio sine qua non. Pemahaman terhadap anasir ini akan membawa masyarakat perkotaan dapat mengendalilan titik singgung penting antara aksi manusia dengan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Yang terakhir ini sebetulnya justru banyak dituntut oleh masyarakat perkotaan itu sendiri, semisal menuntut tersedianya infrastruktur perkotaan yang baik, lingkungan yang bersih, segar dan nyaman. Namun pada lain tuntutan ini tidak diiringi oleh keasaran dalam merawat fasilitas publik. Mereka sendiri yang seringkali  merusak titik-titik punca penentu keseimbangan  ekosistem perkotaan. Membuang sampah semaunya, mengantit telpon umum, kencing sesuka hati sehingga menimbulkan bau pesing, melanggar rambu-rambu lalu-lintas, naik dan turun dari Bus umum tidak pada halte yang telah ditentukan, aksi corat-coret dinding perkantoran (Vandalisme),  berjualan ditempat yang semaunya merupakan sejumlah contoh yang dapat kita amati dalam keseharian hiruk-pikuk kehidupan masyarakat  di kota-kota besar Nusantara Indonesia, termasuk lah Pekanbaru.

 

Pada dataran ini, penekanan implementasi paradigma holistik dalam managemen perkotaan menjadi krusial bagi upaya mengubah cara pandang (visi) masyarakat perkotaan terhadap lingkungan dimana dia hidup dan bernak-pinak. Sikap masa bodoh (apatis) masyarakat perkotaan  di kota-kota besar merupakan bukti sekaligus biang keladi yang mengusik komponen-komponen ekosistem perkotaan sehingga tidak  bekerja sebagaimana mestinya.  Mestilah diakui bahwa perhatian yang diarahkan kepada pendidikan masyarakat perkotaan tentang ekosistem perkotaan masih sangat minim, padahal ianya penting bagi upaya membangkitkan kesadaran masyarakat perkotaan yang akan membawa publik perkotaan kepada perilaku yang berbudaya. Hal ini bermakna bahwa menempatkan riset integratif lintas disiplin (ekologi, pendidikan, ekonomi, anthropologi, sosiologi dan geografi) dalam ekosistem perkotaan serta peningkatan kesadaran masyarakat kota terhadap konsep ekosistem perkotaan bagaikan dua sisi sekeping mata uang logam dalam managemen perkotaan.

 

Pada era desentralisasi (Otonomi Daerah) yang ditandai dengan maraknya pemekaran wilayah baru (kecamatan, kabutapen, provinsi) di tanah air, maka merekonstruksi pendekatan dalam managemen perkoataan  yang telah diterapkan selama ini dipandang sangat relevan. Beberapa hal mendasar yang patut dijadikan bahan konsiderasi dalam riset ekosistem perkotaan antara lain bahwa (i) pengkajian kota sebagai seuatu ekosistem tidak dapat dilakukan secara terpisah dari masalah-masalah yang dihadapi suatu kota.  Isu-isu seperti lingkungan hidup perkotaan yang bersifat ‘sustainable’ memberikan suatu konteks dimana pengkajian ekosistem perkotaan kian mendesak untuk diterapkan, (ii) riset ekosistem perkotaan dan aplikasi dari hasil riset tersebut mestilah lebih bersifat partisipatoris. Masyarakat perkotaan mesti lebih banyak dilibatkan dalam perancangan dan implementasi riset, dan (iii) pendidikan ekosistem perkotaan dapat diperkaya dengan cara mengembangkan pemahaman publik tercara luas tentang Kota sebagai suatu ekosistem. Pendidikan masyarakat tentang ekosistem perkotaan seharusnya dilakukan melalui cara-cara formal dan informal serta meliputi beraneka ragam kelompok masyarakat yang tinggal di suatu kota.

 

Ekosistem Perkotaan kelihatannya akan menjadi bidang  kajian yang menggairahkan sekaligus melelahkan dalam wacana pembangunan Kota yang berkelanjutan (Sustainable City) karena ianya merupakan habitat yang dihuni sekitar 75% penduduk dunia. Delapan koma satu milyar populasi penduduk Dunia pada tahun 2030 akan tinggal di daerah perkotaan (UNEP, 2000). Maka dapat dipastikan tekanan dan benturan kepada Ekosistem Perkotaan niscaya akan teramat dahsyat manakala kota dibangun tanpa strategi  yang jelas dan terkendali.***

 

Ke Artikel

 


© 2001 Singkep dot Com