Ide,
Idea dan Menara Pembangunan
Oleh
Firdaus LN
Karyasiswa
Program Doktor di ENSA Montpellier, France
DUNIA
BAYANG-BAYANG
(idea) merupakan realitas sebenarnya. Demikian ujar Plato tentang
hakikat Idea. Dunia idea itu ADAnya hanya satu macam! Jika demikian
adanya, bagaimana dengan realitas yang tak sebenarnya atau dunia fana (ide,
tanpa huruf “a”) ini?. Kata beliau, dunia ide itu (dunia empiris)
merupakan bayang-bayang dari dunia idea yang ADAnya lebih dari satu macam
alias bermacam-macam. Permacaman bukanlah merupakan realitas yang
sebenarnya. Perenungan
terhadap realitas yang tak sebenarnya itulah agaknya melahirkan syair
tembang tempo doeloe ‘dunia ini adalah pangung sandiwara....’
alias semu. Oleh karena dunia ide mengenal adanya dunia idea, maka
pertanyaannya ialah bagaimana caranya manusia dapat menyentuh (mencapai)
dunia idea?
Dahulu,
“jiwa” manusia itu menurut Plato ada dalam dunia idea. “Jiwa”
kenal betul dengan idea-idea yang tinggal seatap dengannya. Oleh
sesuatu sebab, idea itu terkurung dalam badan. Maka bersentuh lah dia
melalui inderanya dengan ide., sehingga
untuk mencapai idea di dunia fana ini, tidak lain melalui ingat. Idea
tertinggi adalah kebaikan. Idea yang paling rendah adalah keburukan. Maka
ide yang menyirami dunia ini dengan kebaikan laiklah disebut ‘ide
bijak’. Selain itu tentulah disebut ‘tan bijak’. Implikasinya ialah
untuk mencapai kebaikan (ide tertinggi), pertama-tama manusia mestilah
menghargai adanya idea atau ide itu. Jika tidak, manalah mungkin dapat
melahirkan pikiran-pikiran (ide atau gagasan) yang akan membawa kepada
kebaikan. Tidak akan ada kebaikan yang sebenar-benarnya kebaikan dari
sebuah kebijaksanaan yang terlahir dari hasil pemikiran ‘ide tan
bijak’. Pikiran yang melupakan jasa ide itu tidak akan pernah melahirkan
kebijaksanaan yang benar-benar bijak sebagai cikal bakal
“kesarjanaan’, “kecendikiaan” dan ‘keilmuan’ yang lazim
dikenal sekarang.
Penjelasannya
adalah ini. Untuk sampai kepada gagasan (ide), manusia yang tersandung
dengan masalah mesti lah merenung sebagai bagian dari berpikir yang
menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang benar disebut ILMU. Sebaliknya,
pengetahuan yang tidak benar pastilah disebut KELIRU. Cara tertentu
(metoda ilmiah) dan penalaran yang benar (logika) adalah tuntunan bagi
kegiatan berpikir untuk memperoleh ilmu yang kelak membuahkan teknologi
bagi kemaslahatan. Nilai perjuangan berpikir sampai mendapatkan ilmu,
itulah yang menentukan kualitas seorang Ilmuan. Ide sejati selalu membawa
‘obor kebaikan’ via ide yang menyala. Sebaliknya ide semu alias tak
sejati pastilah membawa ‘obor keburukan’ yang selalu menyengsarakan.
Ajaran
tentang idea-idea merupakan ‘nukleus’ dan fondasi pemikiran filosofis
Plato yang lahir pada tahun 428 SM. Selang
tak berapa lama kembali dari Italia, Plato ‘menyemai’ idea-idea di
pekarangan dekat kuil yang dihibahkan kepada seorang Pahlawan bernama
Akademos. Di pekarangan itulah, Plato mendirikan sekolah tanpa bangunan
fisik yang diberi nama ‘Akademia’ yang kelak dipahami sebagai
cikal-bakal berdirinya universitas-universitas abad pertengahan dan
moderen, sebagaimana dikenal sekarang ini. Kebesaran jasa Plato karena dia
membuka suatu lembaga pencerahan (sekolah) yang bertujuan ilmiah (Bertens,
1989). Plato tidak membatasi perhatiannya pada soal-soal etis saja seperti
yang dilakukan oleh gurunya Socrates, melainkan kepada suatu lapangan ilmu
yang luas—hampir mencakup seluruh Ilmu.
Dunia
keilmuan telah mengakui bahwa perkembangan kultur modern setakat ini
adalah jasa ‘batu bangunan’ (penguat hasil pemikiran) dari
‘puing-puing’ Akademia berusia hampir 25 abad yang dipoles pikiran
filsuf Islam. Hampir tidak ada satu pun ilmu di dunia ini yang dapat
mengalami kemajuan spektakuler tanpa sentuhan pikiran filosofis yang
berakar di Athena (simak: Bertens, 1989; Suriasumantri, 1983; Hamersma,
1989; harre, 1989; Verhaan & Imam, 1989). Bukankah kita pun telah
maklum bahwa kemajuan peradaban setakat ini berkat bom iptektaq
hasil olah riset akal budi? Bukankah ketenaran fungsi universitas di
Jerman via penekanannya pada penelitian akademik (Tilaar, 1988) merupakan
tatanan yang dibanguun dari ‘puing-puing’ reruntuhan Romawi baheulak
jinjingan Humboldt ke Jerman tahun 1809? Bukankah syair lagu ‘dunia ini
adalah panggung sandiwara...’ semakin mendayu-dayu didengar?
Pilar-pilar
pemikiran filosofis ‘tidak akan pernah lekang oleh panas dan lapuk
diterpa hujan’. Namun memang setiap karakteristik pemikiran fisolofis
yang komprehensif, radikal dan spekulatif (Dardiri, 1986) seringkali
diserang. Yang demikian itu telah lama dimaklumi oleh Bertrand Russel
(1872-1970) melalui sepenggal kalimat bahwa “ antara teologi dan ilmu
pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini kerap
diserang baik oleh teologi maupun ilmu pengethuan. Daerah tak bertuan ini
adalah filsafat” (Hammersma, 1989). Akan tetapi keistimewaan pikiran
filosofis adalah kian gencar ia diserang, kian tajam, membaja dan
bercahaya pula buah pikiran yang terpancit. Itulah esensi pepatah ilmu
‘tahan banting” tersebut. Menghadapi pikiran filosofis yang demikian
itu seringkali membuat pikiran lain terpaksa ‘bergerilya’ mengintai
sisi lain (allosteric sites) yang jitu untuk diserang. Namun
menghadapi kenyataan ini, pilar-pilar pikiran hasil tempaan pemikiran
Agama, Filsafat dan Ilmu serta Seni dan Budaya biasanya tetap tak
bergeming.
Semua
diskursus yang digelar terhadap sebuah gagasan, lazimnya terpolarisasi ke
tiga kutup: pesimistik, optimistik dan oportunistik.
Akan tetapi dari sisi iklim akademis, sebuah gagasan-apa pun
dimensinya—sangat laik untuk dihargai.
Apatah lagi dalam suatu masyarakat ilmiah (scientific society)
yang senantiasa berupaya membangun iklim akademik dengan tradisi
keilmuannya. Sebagai civitas
akademica di lembaga paling terkahir memperjuangkan misi kebenaran,
penghargaan atas ide atau gagasan yang dicuat dari hasil sekuens proses
keilmuan (terlepas apakah pikiran itu sejati atau kah tidak) adalah
sebagian wujud dari tanggungjawab moral kita terhadap keilmuan. Bagi
keilmuan, ide adalah primer sebagai komitmen atas tanggungjawab moral
keilmuannya. Sedangkan teknologi sebagai buah dari Ilmu, tidak lain adalah
wujud dari komitmen keilmuan atas tanggungjawab sosial terhadap
masyarakat. Ilmu tanpa Teknologi bagaikan pohon tak berbuah. Teknologi
tanpa ilmu bagaikan pohon tak berbatang. Ilmu tanpa Filsafat bagaikan
pohon tak berakar. Sedangkan Ilmu tanpa Agama bagaikan dunia tak bermaya.
Perhargaan
terhadap ide adalah gaji terendah dunia objektif sebagai imbalan hasil
kerja otak. Sedangkan korupsi adalah gaji tertinggi dunia subjektif
sebagai hasil kerja perut yang serakah hingga tak mampu dikendali oleh
otak manusia tamak. Manakala di dalam suatu institusi ilmiah yang
menjunjung tinggi kebenaran (objektivitas) -- dimana masyarakatnya sudah
tidak lagi menghargai ide, maka institusi seperti itu hanya tinggal
menunggu saat-saat kehancuran. Menara Api dan Menara Pembangunan hanya
tinggal nama, bahkan kilauan Menara Gading pun tak terlihat. Agaknya yang
tinggal hanyalah Seonggok Batu Kusam tanpa Menara dalam pekarangan kampus
yang gersang-kering kerontang tanpa idealisme. Yang tumbuh dengan subur
adalah “mediokritas”--budaya gampangan sebagai agen pengkerdilan
pembentukan budaya masyarakat madani yang merugikan Modernisasi Bangsa.
***
|