Singkep dot Com :: Artikel ::

   

Teknologi Orang Kampung

 

 Oleh Firdaus LN

 

Dosen FKIP unri, Karyasiswa S3 di ENSA Montpellier, Prancis

 Artikel ini telah terbit di Harian Nasional SIJORI POS 8 Januari 2001

 

Kemajuan peradaban dunia hingga setakat ini ditandai oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang lesat dan pesat. Tujuan utamanya tentu saja membuat hidup manusia menjadi lebih  baik dan mudah. Pergulatan manusia terhadap teknologi canggih dewasa ini menyebabkan seakan-akan jasa Teknologi Orang Kampung (TOK) yang bersifat tradisional semakin jarang dibicarakan meskipun setiap hari kita lebih banyak memanfaatkan hasil teknologi itu bagi memenuhi kebutuhan hidup.

 

Pada sisinya inilah perlu adanya suatu upaya bagaimana ‘mengorek’ nilai-nilai ilmu pengetahuan (sains) yang terpendam dalam teknologi ‘tahan banting’ yang dipakai oleh orang kampung itu, sehingga menjadikan dia lebih bernilai guna dan berdaya guna bagi pengetahuan orang banyak. Bila kita berhasil mentransformasi pengetahun orang-orang kampung melalui teknologi tradisionalnya yang belum terdokumentasi menjadi Ilmu Pengetahuan, maka pekerjaan ini sekaligus merupakan salah satu upaya nyata dalam mengangkat dan melestarikan nilai pengetahuan akal budi orang kampung yang sekaligus menjadi warisan berharga dan kekal bagi generasi selanjutnya.

 

Pengetahuan yang tidak terdokumentasi (budaya lisan) yang sudah mulai banyak ditinggalkan, disamping tidak abadi juga sulit diacu sebagaimana lazim kita mengacu atau “mengutip” sumber-sumber referensi atau kepustakaan ilmiah yang merupakan acuan kerja ilmuan. Orang-orang di zaman purbakala menuliskan daftar pustakanya pada daun-daun, batu-batu, kulit kayu, kulit binatang atau apa saja yang bisa ditulis sehingga menjadikan acuan atau referensi. Tanpa itu kita tidak akan memiliki ilmu dan teknologi seperti sekarang ini.

 

Beranekaragam teknologi tradisional Negeri Segantang Lada yang menghasilkan bahan-bahan untuk keperluan hidup sekaligus mata pencarian orang-orang kampung yang merupakan kegiatan ekonomi yang telah mendarah daging atau “mengampung” (merakyat) serta membudaya, semisal Teknologi: (1) Pengkapan dan Pengolahan Ikan Bilis, (2) Pembuatan Belacan, (3) Pembuatan Cincalok, (4) Pengawetan Ikan Asin dan lain sebagainya. Bagi sebagian masyarakat, mungkin merasa geli atau aneh membaca gagasan ini karena memang kita belum terbiasa membaca atau mendengar meskipun telah sangat terbiasa memakan hasil dari teknologi kampung sendiri ini.

 

Meski dihasilkan melalui teknologi yang sederhana,  namun mutu komoditi bahan makanan tersebut tidak diragukan. Hal ini dapat dilihat dari nilai jualnya di pasaran di kota-kota daerah Kepulauan Riau.  Akan tetapi hasil analisa kualitatif yang dinyatakan melalui kompisisi protein, lemak, karbohidrat dan asam-asam amino serta mineral yang terkandung dalam bahan makan tersebut, sejauh ini memang belum dapat dibaca. Fakta tersebut dapat kita amati melalui produk-produk yang dijual di pasar tanpa mencantumkan label kompisisi kimia yang terkandung di dalamnya.

 

Masih belum adanya label komposisi bahan makanan pada komoditi tersebut, tidaklah berarti bahwa bahan makanan ini berbahaya, namun lebih berpengaruh kepada nilai keunggulan komparatif penjualannya terhadap produk yang sama di pasaran. Teknik pengemasan dan pencantuman komposisi kimia bahan makanan merupakan dua hal penting yang dapat meningkatkan nilai kompetitif penjualan jenis makanan ini di pasaran. Dua hal ini agaknya perlu mendapat perhatian dari pemerintah setempat, terutama dalam upaya menjadikan komoditi hasil teknologi sederhana itu menjadi komoditi ekspor, atau paling tidak mampu bersaing dengan produk-produk negara lain, terutama dengan Thailand dan Vietnam dalam Era Perdagangan Bebas yang akan memenuhi pasaran kita dalam waktu yang tidak telalu lama lagi.

 

Survey terhadap beberapa jenis makanan utama orang kampung (Ikan tri, Belacan, Cincalok, Cumi-Cumi Kering) di toko-toko eksotik di beberapa kota besar Prancis menunjukkan bahwa semua produk-produk tersebut diimpor dari Negara Thailand,Vietnam, Malaysia dan Singapura ) dengan harga jual yang hampir 5 kali lipat dari harga yang dijual di pasar-pasar kota Kepulauan Riau. Namun sayangya, tidak ada satupun yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Riau (Indonesia) walau dari segi rasa dan penampilannya masih kalah dibandingkan dengan produk orang-orang kampung kita. Kelebihannya hanya pada teknik pengemasan dan pencantuman label komposisi bahan makanan, karena dua hal tersebut merupakan syarat utama yang diwajibkan oleh Negara Prancis agar suatu produk bisa diperjualbelikan di pasaran bebas, terkeculi seperti produk-produk nabati segar seperti Serai, Kunyit, Lengkuas, Cabe Rawit, Sayur Kangkung, Pandan, Rambutan, Durian, Ubi Kayu, Keladi Serawak (Talas), Telur Asin, Belimbing Besi, Jeruk Nipis, Jambu Biji (Jambu Perawas) yang semuanya itu juga diimpor terutama dari Thailand dan Vietnam.

 

Pemaparan di atas dimasudkan sebagai informasi bahwa produk-produk orang-orang kampung kita (Negeri segantang Lada) -- walaupun dihasilkan melalui teknologi tradisional – namun nilai ekonomisnya sangat tinggi di pasaran negara-negara maju bila mendapat sedikit sentuhan teknologi moderen, seperti Teknologi Fabrikasi (Pengemasan dan/atau Pengalengan) dan Teknologi Analisa Komposisi Bahan Makanan. Buah-buahan hasil kebun orang-orang kampung seperti Rambutan, Nangka Muda, Santan Kelapa semuanya  diimpor dari Thailand dalam kemasan Kaleng.

 

Melihat kenyataan inilah, maka nilai-nilai pengetahuan teknologi orang Kampung Melayu Kepulauaun Riau perlu dilestarikan melalui suatu kegiatan pendokumentasian secara ilmiah. Kegiatan ini dapat ditempuh  melalui berbagai cara, semisal menggalakkan  kegiatan penulisan buku-buku Seri Teknologi Tradisional Negeri Segantang Lada, terutama para  guru-guru SD, SMP dan SMU di Kepulauan Riau. Penulisan karya ilmiah ini sekaligus juga dapat meningkatkan  kualitas profesional para guru sehingga lebih kompetitif dalam pemerolehan angka kredit (meskipun bukan tujuan utama) untuk promosi jenjang kepangkatan yang kiat sulit diraih. Juga sebagai ajang  tunjuk kebolehan kepada anak murid yang sering kita himbau agar gemar mengarang atau menulis cerita, sementara sang guru sendiri tak mampu menulis.

 

Koleksi buku-buku perpusakaan sekolah dan perpustaan daerah kampung melayu pun dapat bertambah (Seri Ilmu dan Teknologi Tradisional  Negri Segantang Lada). Dengan demikian nilai Ilmu pengetahuan dan teknologi Melayu dapat diwariskan kepada acak cucu sepeninggalnya kelak. Pada gilirannya, ilmu dan teknologi ini dapat dikembangkan menjadi  Kurikulum Muatan Lokal sebagi mata pelajaran di sekolah-sekolah Kampung Melayu Negeri Segantang Lada. Akan lebih baik lagi jika setiap buku tersebut dilengkapi dengan perangkat media audio-visual (media pembelajaran) yang dapat mempermudah pemahaman anak didik terhadap teknologi tradisional kita ini. ***

   

Ke Artikel

 


© 2001 Singkep dot Com